Geneologis Intelektual dan Pemikiran Gender Agus Salim
Oleh
Shofwan Karim
Agus Salim was told by Soekarno as a grand old man of Indonesian leaders.
He has
involved actively in mainstream of movement to gain Indonesian nationalism and
independence.
He entered and came to the top leaders of Syarikat Islam and lately
Penyadar Party.
After independence of Indonesia for the first era he has been
sited as Indonesian foreign minister and in 1950s he was actively becomes Muslim
scholar who has concerned on Islamic thought and joined some Islamic discourses in
home and overseas countries such as in US.
This paper explored his brief
intellectual genetic, his struggle and his thought on gender in Islam.
I. Pendahuluan
Agus Salim (1884�1954) adalah salah seorang tokoh nasionalis Islami
Indonesia yang amat penting.
Ia memainkan peranannya secara ulet, cerdik dan
lincah melalui perjuangan kebangsaan, merebut dan mempertahanlkan kemerdekaan,
serta pembangaunan masa awal Republik Indonesia .
Di samping amat aktif membina
kegiatan politik kesadaran kebangsaan, tak kalah pentingnya pembentukan jiwa dan
pemikiran baru keislaman dan ideologis angkatan muda pada dekade ke tiga dan
keempat awal abad ini.
Agus Salim menjadi inspirator kadang-kadang menjadi
katalisator bagi angkatan muda Islam diantaranya di dalam Islam Studi Klub dan
Jong Islamieten Bond (Himpunan Pemuda Islam) 1924-1930 .
Selanjutnya ia berkolaborasi dengan kekuatan Islam lainnya di dalam upaya
membebaskan bangsa ini dari penjajahan dan merebut kemerdekaan serta di masa awal
kemerdekaan sebagai pelaku praktis diplomasi luar negeri .
Di dalam masa-masa
aktif kontributifnya itu, sejak dari muda sampai masa akhir hayatnya selalu ia
isi dengan eksplorasi pemikiran keislaman sejalan dengan aktivitasnya di dalam
dunia intelektual lisan dan tulisan , di dalam maupun luar negeri.
Begitu pentingnya sosok dan peranan Agus Salim, telah menimbulkan inspirasi
penulis untuk melakukan analisis rekonstruktif terhadap latarbelakang geneologis
intelektual tokoh yang satu ini.
Berdasarkan kajian teks yang pernah ditulisnya
serta karya lain tentang pemikiran tokoh ini, paling tidak menurut penulis ada
dua pemikiran keislaman yang amat menarik untuk dikaji. Pada masa awalnya tentang
sosio-teologi gender dan pada masa akhir tentang filsafat dan teologi akidah
tauhid . Oleh karena beberapa keterbatasan belum memungkinkan keseluruhan
pemikiran Salim tersebut dikemukakan di sini, maka pada tulisan ini difokuskan
kepada kajian sosio-teologi gender, dengan terlebih dulu menyajikan latar
belakang geneologis intelektualnya.
II Geneologis Intelektual
Melalui permenungan yang mendalam setelah membaca sebuah kitab, Sutan
Mohammad Salim memberikan nama bayinya Mas�udul Haq (pembela kebenaran). Nama bayi
yang sesuai dengan judul kitab yang dibacanya itu ternyata belakangan berubah.
Secara selintas perubahan itu hanya persoalan sepele. Namun kalau di renungkan,
bisa dianggap serius. Ternyata, sengaja atau tidak, panggilan �den bagus�
disingkat �gus� (ingat Gus Dur, panggilan mantan Presiden Abdurrahman Wahid), oleh
pengasuh Mas�udul Haq kecil yang berasal dari Jawa, belakangan melekat abadi.
Secara serius dalam tafsir pluralisme , keadaan itu adalah pencerminan
watak apresiatif dan adaftif keluarga Sutan Mohammad Salim terhadap kultur lain,
dalam hal ini Jawa. Watak itu nampaknya melekat sepanjang hidup keluarga Salim.
Bahkan Mohammad Rum, seorang tokoh nasionalis-islami Jawa, merasa Salim adalah
guru dan sahabatnya di dalam masa kehidupan mereka di belakang hari.
Kembali ke soal nama, tentu saja keluarga ini tidak memanggil �den bagus�
menurut cara pembantunya tadi , tetapi menjadi Agus yang disetalikan dengan
initial ayahnya hingga menjadi Agus Salim (1884-1954). Orang Belanda memanggilnya
�August� (Panitia Peringatan, 1984: 36).
Atas gigihnya berjuang untuk ummat Islam dan bangsa Indonesia, Salim dijuluki
oleh Soekarno sebagai the grand old man (tokoh agung ). Gelar itu terus dipakai
sebagai penghargaan oleh kalangan penulis, cendekiawan dalam dan luar negeri
terhadap tokoh yang satu ini. Semua orang tahu, Agus Salim menguasai dengan baik
paling tidak 7 bahasa asing : Arab, Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Sepanyol
dan Jepang. Penguasaan bahasa-bahasa asing yang nyaris amat sempurna ini, mungkin
termasuk dalam anatomi kekaguman Soekarno terhadap Inyiak Salim yang dibicarakan
ini.
Kemampuan Bahasa merupakan kunci utama pembuka gerbang gudang ilmu pengetahuan.
Dengan kunci itu sebagai tool dan piranti canggih, Salim membuka cakarawala dunia
dan menjadi pemimpin, pejuang sekaligus pemikir. Oleh karena itu, dalam ukuran
kemanusiaan normal, maka Salim memang prima sebagai sosok yang relatif lengkap.
Dengan demikian, bukanlah sebuah permainan kata, kalau beliau dijuluki sebagai
pejuang pergerakan nasional, kemerdekaan, pemimpin bangsa, ulama intelek,
pembentuk tradisi cendekiawan, bapak kaum intelektual dan spiritual muslim
Indonesia, ilmuwan agung, pembaharu pemikiran Islam sekaligus seorang filosof .
Lebih dari itu secara geneologis intelektual, Agus Salim boleh dikatakan protipe
orisinal Minangkabau. Melalui pihak ayah, Agus Salim bertalian darah dengan orangorang
yang amat terdidik dari strata sosial atas . Kakeknya dari pihak ayah
Abdur Rahman Dt. Rangkayo Basa adalah jaksa tinggi di Padang dan ayahnya sendiri
belakangan menjadi jaksa tinggi di Riau. Dari sisi geneologis religius, ayah dari
kakeknya, Tuanku Imam Syekh Abdullah bin Azis seorang ulama panutan di Koto
Gadang.
Dari pihak ayahnya itu pula Salim juga bertalian darah dekat dengan Syekh Ahmad
Khatib al-Minangkabawy. Tokoh yang juga lahir di Koto Gadang ini adalah Imam dan
guru besar Mazhab Syafii di Masjid al-Haram di Mekkah yang sudah bermukim di kota
suci ini sejak 1876. Tentu saja selain pertalian darah, tokoh ini sekaligus
merupakan inspirator utama pembaruan pemikiran Islam Nusantara. Abdul Latief
gelar Khatib Nagari, ayah Ahmad Khatib merupakan saudara seayah dengan ayah Salim,
Sutan Mohammad Salim. (Hamka, 1982:271). Dari pihak ibu, keadaannya sama. Karena
ibu dan ayah Salim sebetulnya sebagaimana layaknya orang-orang Minang dewasa itu
kawin mengawini masih dalam keluarga yang tidak begitu jauh. Tentu di luar garis
keturunan materlinial line (ibu), perkawinan antara putra atau putri anak mamak
dengan kemenakannya atau putra atau putri dari saudaranya yang perempuan merupakan
hal yang biasa di ranah ini pada masa klasik hingga ujung abad lalu.
Belakangan tokoh terakhir ini, Syekh Ahmad Khatib bukan saja terkait secara
geneologis dengan Salim, bahkan bagi Salim menjadi tranformator ide dan sumber
ilmu agama selama menjadi staf Konsulat Belanda di Jeddah (1906-1911). Tentu saja
setelah itu, tokoh jenius yang satu ini menimba dan mengeksplorasi kapasitas dan
kualitas intelektualnya tanpa henti. Geneologis intelektual tadi tidak bisa
menjadi satu-satunya modal, kalau Salim tidak mendapat dukungan lingkungan sosial
yang kondusif serta faktor pribadinya sendiri yang mau dan mampu untuk
mengembangkan diri untuk maju.
Tentu saja, seperti kajian Elizabeth Grave (1981:77-129), perkembangan lingkungan
dan zaman telah membantu Salim. Ia berangkat menapak formatif intelektual dan
pemikiran di era terjadinya booming pendidikan. Lebih khusus lagi, menurut
Kustiniyati Mochtar (1984) meskipun mendapat peluang yang sama dari kolonial
Belanda dengan beberapa nagari lain di Minangkabau untuk membuka sekolah sekuler,
tetapi di Koto Gadang hasilnya melebihi nagari lainnya tadi.
Pertanyaan yang muncul adalah , mengapa?. Maka jawabannya terletak pada sifat,
jiwa dan watak orang Koto Gadang itu sendiri. Mereka menggesa anak-anak mereka
bersekolah melebihi dorongan untuk hal-hal yang lain. Sehingga masyarakat kala
itu mengenal bahwa Koto Gadang adalah tempat berhimpunnya orang pandai. Sampai
tahun 1915, sebanyak 165 orang Koto Gadang berstatus pegawai pemerintah sipil, 79
orang di antaranya bekerja di luar Minangkabau.
Dari 165 orang tadi, 72 orang fasih berbahasa Belanda. Fasih berbahasa Belanda
dapat menjadi indikator bahwa mereka keluaran pendidikan yang amat memadai. Pada
kitaran 1940-an sebelum kemerdekaan, Koto Gadang merupakan gudang dokter,
insinyur, sarjana hukum, jaksa dan pejabat administrasi pemerintah. Di tahun 1942,
40 orang putra Koto Gadang lulus sekolah tinggi kedokteran Stovia Batavia (Grave,
1981:131). Tentu saja semua orang ingat bahwa Rohana Kudus, pejuang dan tokoh
wanita, pendiri Surat Kabar Soenting Melajoe dan sekolah Kerajinan Amai Setia,
berasal dari nagari ini pula.
Kembali menurut Elizabetth Grave (1981:117), berkah out-put kecendrungan prima
dan apresiatif tinggi terhadap dunia pendidikan bukan hanya milik Koto Gadang,
tetapi merambat hampir merata di seluruh Minangkabau. Sebagai produk lokal
inisiatif 1840-an yang disambut reorganisasi pendidikan Pemerintah Kolonial
Belanda 1870-an, berdirilah sekolah di mana-mana. Dengan demikian Minangkabau
mendahului suku lain di Indonesia banyak melahirkan kalangan terdidik baru.
Salim tentu saja merupakan salah satu produk dari suasana tersebut.
Sekolah-sekolah nagari produk orisinal lokal inisiatif tadi , di ujung abad ke-19
telah dimerger menjadi sekolah-sekolah dasar pemerintah. Hal itu terjadi karena
adanya perubahan kebijakan Belanda yang sedikit agak serius memberi bantuan
pembangunan pendidikan ini. Buahnya seperti dikatakan Grave, sampai tahun 1945,
kaum politisi, intelektual, dan elit profesional di Indonesia mayoritas berasal
dari etnis Minangkabau yang hanya merupakan 3 persen dari jumlah total penduduk
Indonesia (Ibid, vii). Salim tentu saja menghirup suasana itu dan mendapat
pengaruh yang kuat mendorongnya untuk maju.
Dilihat dari era formatif intelektualitasnya, Salim sebenarnya dapat pula dikaji
dari latar belakang pendidikan formal dan informalnya. Selepas sekolah di kampung
yang belakangan ia sebut sebagai tempatnya belajar agama sebagai orang Islam dan
Melayu, selanjutnya ia mengecap pendidikan formal yang bergensi di kala itu.
Karena ayahnya Mohamad Salim menjadi jaksa tinggi pada Pengadilan Negeri Riau,
Salim remaja dapat diterima di Sekolah Belanda Eruropeese Lageree School (ELS).
Masuknya Salim dan kakaknya ke sekolah ini tidak terlepas dari status ayahnya
tadi yang dianggap menduduki posisi tinggi untuk kaum pribumi (inlanders).
Selepas belajar di ELS itu Salim hengkang ke Batavia dan sekali lagi karena
kedudukan ayahnya, ia dapat masuk ke sekolah menengah bergengsi Hogere Burger
School (HBS). Baik di ELS maupun di HBS Salim adalah anak yang cerdas dan pintar.
Seperti diakuinya, kepintaran itu bukan karena orisinal genius, tetapi lebih
kepada kemampuannya belajar dengan sungguh-sungguh dan disiplin. Oleh karena itu
guru-gurunya orang Belanda bukan hanya memuji dan memberikan dorongan, di
antaranya memperlakukan Salim sebagai anak didik khusus.
Sebagai siswa yang unggul dalam pelajaran bahasa, ilmu sosial dan ilmu
pasti, Salim berhasil lulus terbaik untuk seluruh HBS Hindia-Belanda yang ada di
Batavia, Bandung dan Surabaya pada tahun 1903.
III. Kehidupan dan Perjuangan
Petualangan sosial dan intelektual Salim hendak dimulainya di kampungnya sendiri
Koto Gadang. Pasca Jeddah, lebih kurang 3 tahun, Salim mengabdi di Kampungnya
Koto Gadang dengan membuka sekolah HIS swasta. Agaknya karena tidak betah di
kampung sendiri atau mungkin pula merasa kurang puas atas perkembangan keadaan,
sosial dan intelektual, maka Salim hengkang dari kampungnya. Kepergiannya boleh
jadi sebagai koreksi total terhadap pepatah Melayu� setinggi-tinggi terbang bangau
kembalinya ke kubangan juga. Dalam makna konsep Minang kubangan itu adalah negeri
sendiri, dan ini dibalik Salim, bahwa kubangan itu adalah rantau itu sendiri.
Apakah insfirasi ini memberikan penafsiran ulang pula terhadap kasus lain yang
dilakukan beberapa orang Minang belakangan. Misalnya penafsiran terhadap legenda
Malin Kundang dengan membalikkan logika bahwa bukan Malin Kundang yang durhaka,
tetapi ibunyalah yang durhaka mendo�akan anaknya hingga celaka dan menjadi batu.
Salim hengkang ke Jawa, meneruskan petualanganya sebagai migran sukarela istilah
Mochtar Naim di ujung tahun 1970-an. Sebagai layaknya mayoritas intelektual
secara umum, bahkan sampai sekarang, Salim sebenarnya menjadi sempurna sebagai
cermin intelektual yang gelisah. Pada bulan-bulan awal oleh komisaris besar
polisi yang ia kenal, Salim diutus untuk memata-matai gerakan Sarekat Islam yang
dituduh menampung senjata gelap dari Jerman untuk melawan Belanda. Tugas itu ia
terima untuk jembatan baginya untuk dapat mendekati HOS Tjokroaminoto yang sudah
dia kagumi melalui opini yang berkembang ketika itu. Toh pada akhirnya karena
kecurigaan terhadap orang-oarang SI itu tidak berdasar dan tidak ada fakta-fakta
yang mendukung ia bukannya melapor ke Polisi Hindia Belanda, malah menyeberang dan
bertungkus-lumus ke dalam Sarekat Islam itu sendiri.
Ia berhasil tembus menjadi salah seorang Pengurus Besar Syarikat Islam. Begitu
kental dan lengketnya Salim dalam menggerakkan SI, ia bahkan sering diidentikkan
dengan Oemar Said Tjokroaminoto sebagai dwi-tunggal pemimpin pergerakan nasional
Syarikat Islam, Partai Syarikat Islam, kemudian Partai Syarikat Islam Indonesia
itu. Agus Salim memulai debutnya di dalam Syarikat Islam (SI) tahun 1915 dan
meroket menjadi tokoh puncak SI melalui Kongres PSII Malang 1935 setelah
Tjokroaminoto wafat 1934.
Selain memilih Salim di dalam kongres itu, ada keputusan lain yaitu meneliti
kembali politik hijrah (non-kooperatif). Belakangan penelitian itu tidak
dilaksanakan lantaran ketua Lajnah Partai, Abikoesno Tjokrosujoso ingin meneruskan
politik hijrah tersebut. Akibatnya, para pengusul peninjauan kembali politik
hijrah meneruskan usahanya untuk menyadarkan barisan PSII di daerah tentang
perlunya peninjauan itu.
Solusi yang diharapkan adalah bukannya Partai berkooperasi dengan pemerintah
Hindia-Belanda, tetapi di Parlemen, Partai dapat bekerjasama dengan siapa saja
yang sehaluan dengan Partai. Oleh pihak Abikoesno dinyatakan bahwa pembicaraan
tentang hal ini sudah ditutup, maka terjadilah kebingungan di daerah. Untuk
mengeeleminir kebingunan itu berdirilah barisan penyadar yang diketuai Mohammad
Roem akhir November 1936 yang akan meneruskan usaha menyadarkan barisan PSII
mengenai masalah peninjauan kembali politik hijrah. Langkah itu ditolak dan pihak
Abikoesno memecat tokoh-tokoh Barisan Penyadar termasuk Agus Salim pada bulan
Januari 1937 (Panitia, 1984: 163-4) . Selanjutnya Barisan Penyadar menjadi
Pergerakan Penyadar yang mandiri diluar PSII, belakangan menjelma menjadi Partai
Penyadar.
Terhadap Partai Penyadar, Agus Salim memberikan landasan perjuangan Islami dalam
corak yang membebaskan, substantif dan bukan harfiah, fundamental bukan
isntrumental-ornamental, filosofikal, bukan artifisial-simbolik. Oleh karena itu
gerakan yang belakangan disebut partai itu bukan ditempel kata Islam, tetapi kata
Penyadar. Tentulah Islam yang memberdayakan dan menyadarkan. Boleh jadi, kira-kira
samalah dengan Islam liberal yang tengah mewabah pada sebagian intelektual muslim
Indonesia dewasa ini. Menurut Salim, setiap warga Penyadar hendaklah lebih
mementingkan misi bukan organisasi. Oleh karena itu, dalam keadaan seorang diri
pun, warga Penyadar harus setia memegang dan mengembangkan misi itu.
Organisasi, kata Salim dapat lahir dalam aneka ragam bentuk. Tetapi itu semua
adalah alat guna memperbesar hasil usaha perjuangan seseorang atau kelompok orang
menuju cita-citanya, organisasi bukan tujuan. Adapun tujuan Penyadar, kata Salim
adalah menyadarkan umat manusia berittiba� mengikuti contoh teladan yang
diberikan Nabi Muhammad saw. dalam beliau mengamalkan isi al-Alqur�an al-
Karim.Tegasnya dalam rangka menyerahkan diri total dalam Islam kepada kehendak
Allah swt.
Oleh karena itu hendaklah diketahui oleh anggota Penyadar bahwa umat manusia
berkeadaan berkelompok-kelompok menuruti kehendak lingkungan, kehendak zaman,
kehendak kebudayaan dan ilmu pengetahuan . Manusia bersuku, berkaum, berbangsa,
bernegara, kecil dan besar, berpartai politik, berperkumpulan yang berdasarkan
prinsip ekonomi atau prinsip koperasi/gotong royong. Di antaranya ada yang suka
bermusuhan, atau saling menutup pintu bagi anggota kelompok yang lain. Yang
demikian itu karena ulah iblis, terhadap mana manusia �dengan fitrahnya�sebagai
makhluk lemah dan suka lupa akan petunjuk Allah swt tidak jarang lembek hati, dan
lalu menjadi pengikut iblis menyebar-nyebarkan mungkar dan fitnah. Itulah kalimat
Salim yang khas bertutur dalam gaya bahasa pada masa itu. Konstatasi Salim ini
agaknya merujuk kepada Qur�an (Lihat, QS, 49: 12-13).
Selanjutnya menurut Salim, hendaklah para anggota �Penyadar� berpegang teguh pada
al-Qur�an dan Sunnah Rasulullah Muhammad saw. dan menginsyafi, bahwa Nabi
Muhammad Rasul Allah telah mewariskan kepada kita ummat dan pengikutnya, yang
anggota-anggotanya terdapat di dalam kelompok-kelompok yang beraneka ragam dan
macam tadi, termasuk para anggota Penyadar sendiri sepanjang masa. Maka janganlah
hendaknya para anggota Penyadar mengadakan sesuatu, kecuali usaha yang menyehatkan
dan menyegarkan kelompok-kelompok tadi lewat pemimpin mereka sendiri, sehingga
dengan demikian bukan �Penyadar� yang menonjol, melainkan misi itulah �yang
ditonjolkan� oleh kaum �Penyadar�.
Itulah kira-kira garis umum khittah perjuangan penyadar yang mendasari idelisme
menurut konsepsi Salim. Dapatlah difahami bahwa meskipun tidak menyebutkan secara
eksplisit, Salim boleh jadi merujuk kepada hadist Rasullullah yang mengatakan
bahwa �Aku tinggalkan kepada kamu sekalian dua pusaka. Apabila kamu berpegang
teguh kepada kepada keduanya niscaya kamu tidak kan tersesat selama-lamanya.
Pusaka itu adalah al-Qur�an dan Sunnah Rasulullah.� Selanjutnya, Salim agaknya
juga merujuk kepada QS, 3 : 103 yang menggesa umat untuk berpegang teguh kepada
agama Allah.
Agus Salim berikutnya mengingatkan bahwa para anggota Penyadar hendaklah
mengetahui tentang adanya �waktu pasang� dan �waktu surut� bagi usaha dan
perjuangannya; namun yang penentuannya hendaknya dimusyawaratkan tanpa suatu
keputusan yang mengikat, kecuali bagi yang sukarela menerima dan melaksanakannya,
dengan arti (bahwa) yang mayoritas jangan memaksakan pelaksanaan keputusan kepada
yang minoritas, dan sebaliknya yang minoritas jangan menghalang-halangi si
mayoritas melaksanakan keputusannya.
Sehubungan dengan soal itu, kata Salim, hendaknya para anggota Penyadar
menyadarkan dirinya dan khalayak ramai bahwa �kebenaran mutlak� hanya ada pada al-
Khalik (Allah swt) sedangkan kita hanya makhluk yang diperintahkan untuk saling
hormat menghormati antara sesama; dan bahwa pihak yang tadinya bermayoritas, pada
suatu ketika bisa menjadi minoritas. Demikian Salim (Ibid : 161-2).
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Agus Salim ikut di dalam Masyumi yang berdiri
pada tahun 1945. Kemudian karena PSII keluar dari Masyumi 1947 dan orang PSII
ingin menariknya, namun Salim tidak mau, beliau menjadi tokoh netral saja, tidak
di PSII dan tidak pula di Masyumi. Walaupun begitu tidak mengurangi peranannya
dalam menjalankan misi kemerdekaan dan beliau aktif di pemerintahaan sebagai
lokomotif diplomat dan menjadi Menteri Luar Negeri pada pemerintahan awal RI itu.
Berbarengan dengan itu, Salim aktif pula menjadi nara sumber dalam pemikiran
Islam di dalam maupun di luar negeri.
Antara lain, Agus Salim menjadi Guru Besar tamu (visiting professor) dalam mata
kuliah Agama Islam di Cornell University 1953 selama empat bulan. Pada tahun
yang sama ayah 10 anak dari Zaitun Nahar Almatsier, isterinya yang masih ada
hubungan darah dari pihak ayahnya dari Koto Gadang ini menjadi pembicara pula
tentang Kebudayaan Islam dalam Colloqium on Islamic Culture di Princeton, Amerika
Serikat, mewakili kaum muslimin Indonesia.
Wacana berikut merupakan salah satu contoh lintasan pemikiran Agus Salim pada
periode awal yang berhubungan dengan posisi, status dan peranan wanita dalam
kehidupan apa yang sejak 25 tahun terakhir disebut sebagai wacana gender.
IV. Wacana Kesetaraan Gender
Konsep gender seperempat terakhir abad ke-20 merupakan wacana tentang wanita dan
peranannya serta pola hubungan antara wanita dan pria (Sri Rahayu P, 1996:3).
Konsep gender yang sekarang semakin terinci, tentu saja belum dikenal di awal
abad lalu. Akan tetapi mendahului zamannya, dalam makna hakiki yang tak jauh
berbeda dengan wacana kesetaraan gender pada masa itu ada yang disebut emansipasi
wanita. Wacana ini masuk ke dunia Islam melalui sarjana Islam pendidikan Barat. Di
dunia Islam Timur Tengah dengan poros utama Mesir, wacana emansipasi wanita
dipelopori oleh Qasim Amin (1868-1908). Di dalam kitabnya (1899) Tahrir al-Mar�ah
(pembebasan wanita) dan (1901) al-Mar�ah al-Jadidah (wanita moderen), Qasim Amin
memecah kesunyian dan ketakberdayaan kaum wanita di dunia timur terutama negerinegeri
Islam .
Secara sengaja atau tidak, boleh jadi ketika berada di Jeddah, Arab Saudi Agus
Salim mengikuti wacana Qasim Amin di Mesir seperti disinggung terdahulu. Seperti
pengakuannya sendiri, keberadaannya selama lebih kurang 6 tahun (1905-1911) di
pusat Islam ini merupakan era pendalaman dan pengasahan intelektualita
keislamannya yang amat intensif. Belakangan, di Minangkabau meski tidak secara
eksplesit dan tanpa gembar gembor dengan sebutan pejuang emansipaasi wanita,
tentu saja peranan Rohana Kudus, Rasuna Said dan Etek Rahmah El-Yunusiah amatlah
meyakinkan.
Kembali kepada Qasim Amin, di dalam kitabnya yang pertama tadi, dia mengemukakan
wacana tentang ide emansipasi wanita dan ini sesuatu yang amat baru di kalangan
pemikir Islam waktu itu. Kemudian pada kitab kedua sebagai menjawab protes atas
pemikirannya dalam kitab pertama tadi, sekaligus memperkuat argumennya tentang
amat pentingnya emansipasi wanita di kalangan umat Islam.
Tentu saja pada sisi tertentu Qasim Amin mendapat inspirasi dari emansipasi wanita
di Barat ketika dia belajar di Paris, Prancis. Akan tetapi Qasim Amin tidak
sepenuhnya setuju dengan emansipasi wanita versi Barat tersebut. Apabila di Barat
kesetaraan wanita-pria berlaku secara total, maka dalam masyakarat Islam harus
didudukkan secara proporsional.
Pada dasarnya Qasim Amin melihat bahwa Mesir yang komposisi statistik penduduknya
hampir sama kala itu antara pria dan wanita, tidak akan maju kalau wanitanya
tidak digesa untuk melepaskan kungkungan tradisi lama. Masyarakat terutama tokoh
agama harus menciptakan suasana yang kondusif meningkatkan martabat wanita. Wanita
harus bebas berkereasi secara profesional dan kemasyarakatan.
Isyu pokok yang dilontarkan Qasim Amin adalah pertama tentang amat pentingnya
dunia pendidikan bagi wanita. Kedua, perlu atau tidaknya mempertahankan tradisi
hijab (penutup wajah) serta apakah hijab merupakan assesoris atau merupakan bagian
pokok busana wanita muslimah. Lebih jauh dari itu, hijab secara langsung atau
tidak seakan telah menjadi alat isolasi wanita dari dunia luar. Ketiga, status dan
fungsi lembaga perkawinan (Eliana S, 2001).
Pendidikan bagi wanita adalah mutlak. Wanita mesti memperoleh kesempatan dan
bebas memilih pendidikan apa yang akan ditekuni. Pendidikan merupakan ikon utama
bagi wanita sebagai sokoguru di rumah tangga dan tangan yang mengasuh dan
membimbing anggota keluarga, terutama putra-putri yang dilahirkannuya. Di samping
itu, pendidikan yang baik bagi wanita akan menciptakan peluang dan sumber
inspirasi membantu perekonomian keluarga. Dengan itu maka wanita punya hak untuk
mengembangkan profesionalitasnya dan dapat terjun ke tengah masyarakat untuk
kemajuan bangsa.
Tentang hijab, bagi Qasim Amin ternyata bukan saja telah menyandara
wanita Islam (Arab) dengan pakaiannya yang harus menutupi seluruh tubuh, bahkan
wanita juga tidak boleh keluar rumah dan bergaul dengan orang lain. Wanita
tertutup dari kehidupan sosial dan tidak dapat menikmati hidup sebagai manusia
merdeka melihat keindahan alam ciptaan Tuhan. Oleh karena itu hijab menurut Amin
bukan hanya berarti pakaian menurut makna harfiah, tetapi juga telah menjadi
pembatas hak-hak asasi wanita.
Tentang pakaian itu sendiri, Amin tidak pula membebaskan wanita Islam mengikuti
cara Barat moderen yang buka-bukaan. Bagi Amin, cukuplah wanita Islam menyesuaikan
dengan perintah Al-Qur�an yaitu menutup yang pantas ditutup, bukan menutup seluruh
tubuh. Kesulitan akan tumbuh kalau wanita juga harus menutup wajah dan tangannya
dalam tugas domistik, dalam bekerja dan tugas sosial out door (di luar rumah).
Oleh karena itu, membuka muka dan tangan atau berpakaian yang sepantasnya bukanlah
menyalahi syariat.
Sementara itu dalam soal perkawinan pada abad 19 dan awal 20 itu di kalangan umat
Islam terjadi ketimpangan yang amat sangat. Wanita dianggap sebagai warga kelas
dua dalam rumah tangga. Suamilah pusat segala-galanya. Pendapat seperti itu
menurut Qasim Amin bukan saja pada kalangan awam, tetapi juga ulama fikih yang
tidak membicarakan kedudukan wanita yang pantas dalam perkawinan dan rumah
tangga..
Pemahaman terhadap Qur�an, al-Rum 21 tidak sedikitpun memberi pembenaran kepada
sikap sementara masyarakat Islam yang menganggap wanita hanya sebagai objek
kesenangan biologis sang suami. Hubungan perkawinan haruslah dilandasi dari
kerelaan saling memberi dan menerima. Sikap itu harus diawali dengan proses
perkawinan itu sendiri. Tidak perlu ada paksaan dalam perkawinan. Oleh karena itu
pembinaan rumah tangga harus dimulai dengan kecocokan pisik dan psikologis
pasangan.
Oleh karena itu sebelum mahligai rumah tangga dibina, haruslah
dimulai dengan saling kenal antara pasangan itu ter lebih dahulu. Tentu saja
pendapat Qasim Amin ini tidak seutuhnya baru. Di dalam fikih, sejak zaman kelasik
Islam para imam Mazhab telah mengedepankan konsep apa yang disebut sekufu
(setara) antara calon pasangan penganten . Jadi khusus yang satu ini, pendapat
Qasim Amin lebih kepada menolak praktek yang terjadi di tengah masyarakat Islam
yang belum merujuk kepada konsep dasar terdahulu itu.
Beralih kembali kepada Agus Salim, boleh jadi konstruk pemikiran the grand old man
ini, tidak terkait langsung dengan wacana Qasim Amin di atas. Akan tetapi, sebagai
staf konsulat Belanda beberapa tahun bermukim di Jeddah--seperti telah disinggung
pada bagian terdahulu, tentunya Salim ikut bergulat dengan pemikiran progresif
waktu itu di Timur Tengah. Antara lain tentang penghormatan terhadap martabat
wanita tadi.
Salim, sebagai yang sudah sering ditulis dalam biografinya, dijodohkan oleh
keluarga kepada wanita yang masih dekat hubungan famili melalui ayah dan ibunya .
Dara yang bernama Zaitun Nahar binti al-Matsir itu tidak dikenal pemuda Salim yang
waktu itu berusia 27 tahun. Salim baru saja pulang dari Saudi Arabia. Respon
terhadap kenyataan yang satu ini, boleh jadi dapat dikategorikan awal pembaruan
Agus Salim tidak menolak dikawinkan dengan gadis pilihan keluarganya. Tetapi ia
tidak mau begitu saja menerima kebiasaan yang berlaku saat itu. Pada dekade awal
abad lalu itu, perkawinan di kalangan masyakarakat Minangkabau (baca: umat Islam)
senantiasa diibaratkan sebagai "membeli kucing dalam karung". Tidak tahu sosok dan
rupa pasangannya. Semua diterima apa adanya. Logikanya adalah bahwa cinta datang
belakangan.
Dalam rangka mengubah keadaan itu, dia memulai dari dirinya. Maka Agus Salim
meminta supaya gadis itu dapat diperlihatkan kepadanya. Keinginan itu tentulah
relevan dengan konteks pemikiran fikih munakahat dalam Islam yang niscaya menjadi
rujukan Agus Salim dalam tatacara peminangan di mana pasangan pria dapat melihat
calon penganten wanitanya sebatas yang pantas yaitu wajah dan kedua tangannya.
Boleh jadi pula Salim seakan sependapat dengan Qasim Amin dalam memperlakukan
calon isteri yaitu harus kenal mengenal terlebih dulu.
Nampaknya alasan fikih lebih utama bagi Salim. Ia mengutip pendapat fikih di
kalangan Mazhab Syafii bahwa kesempatan bagi seorang pria untuk memandang wajah
bakal istrinya bukan hanya halal hukumnya, melainkan �sunnah�. Walaupun Salim
tidak menunjuk rincian pendapat Mazhab Syafii itu, akan tetapi boleh jadi hal itu
sebagai repleksi pemahamannya terhadap perintah Rasulullah kepada salah seorang
sahabat yang akan meminang wanita Kaum Anshar di Madinah untuk melihat wanita itu
terlebih dulu. Pemikiran ini tentu saja berdasarkan kajian intensif Salim yang
waktu di Mekah sempat belajar pula kepada pamannya Syekh Ahmad Khatib al-
Minangkabawy yang lebih dulu datang dan belajar serta bermukim di Tanah Suci ini
seperti yang sudah disebutkan terdahulu.
Kebiasaan lain yang diubah Salim adalah memberikan mahar langsung kepada calon
pengantin perempuan. Salim sendiri ikut berembuk dalam rapat keluarga untuk
menentukan kunjungan-kunjungan sesudah pesta perkawinan. Begitu pula sifat
kritisnya terhadap pososi pasangan yang baru menikah supaya tinggal di rumah
sendiri bukan di rumah mertua. Salim langsung memberi tahu pihak keluarga
bahwa isteri adalah mandiri hidup di dalam satu keluarga dengan pimpinan suami.
Dan pihak asal keluarga isteri sudah selesai tanggungjawabnya, dan tidak boleh
ikut campur lagi dalam urusan keluarga yang baru itu. Inilah antara lain
pembaruan pemkiran budaya keluarga dengan kaitan agama yang dilakukan Salim yang
bersuku Koto ketika menikah dengan isterinya Zaitun Nahar al-Matsire dari suku
Chaniago itu. Tentu saja gagasan-gagasan Salim tadi sebagian besar banyak yang
asing dan aneh bagi kehidupan masyarakat Mingkabau, termasuk di Koto Gadang yang
sudah banyak orang-orang terdidiknya tetapi belum berani mengubah seperti apa yang
dilakukan Salim.
Pemikiran Salim tentang perempuan ternyata tidak berhenti dalam kaitan dirinya dan
keluarganya. Pada masa berikut Salim ikut bergelut dalam soal fikih perempuan
ini, tentu dalam nuansa emansipatif dan liberatif. Salim menuangkan pemikirannya
di dalam tulisan Perempuan dalam Islam (Hindia Baroe, 17-18 April 1925) serta
Cadar dan Harem (Het Licht, Tahun II, 1926).Yang pertama, Salim menolak hujatan
beberapa penulis terhadap beberapa wacana RA Kartini yang seolah-olah sudah salah
memahami Islam tentang rumah-tangga dan perkawinan dalam Islam. Respon Salim ini
adalah dalam rangka klarifikasi terhadap suatu wacana yang berkembang terhadap RA
Kartini.
Di dalam Hindia Baroe, 16 April 1925, ada karangan �Ummat Islam� di dalam Bendera
Islam mengenai sikap Raden Ajeng Kartini almarhumah terhadap agama Islam. Menurut
Salim, karangan itu sudah mendeskreditkan Kartini yang bukan kesalahannya. Untuk
menolak tudingan penulis tadi supaya jangan terdorong dengan mudah menuduh Kartini
secara tidak proporsional, Salim mengutip al-Qur�an ayat 116 surat al-Nahl:
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah
beruntung.
Salim bukan membela isi pendapat Kartini, tetapi ia mengajak pembaca untuk melihat
status dan posisi Kartini. Dengan memakai �kacamata�nya sendiri, Kartini
menyalahkan kebiasaan lelaki, terutama kalangan priayi amat ringan mempraktikkan
kawin-cerai, poligami (poligini) dan perseliran. Resikonya perempuan di siasiakan.
Menurut Salim pendapat Kartini yang demikian didasarkan kepada pemahaman
dan pengamatan sosiologis Kartini terhadap fenomena rumah tangga dan institusi
perkawinan di kala itu. Keadaan itu jelas bukan berdasarkan doktrin dan kaedah
yang sebenarnya di dalam Islam.
Soal Kartini mencela poligami (poligini) misalnya, oleh Salim dianggap sebagai
kekeliruaan Kartini yang masih muda belia lebih banyak terpengaruh oleh sentimen
perasaan dari pada pikiran rasional. Karena lingkungan Kartini sebagai anak Bupati
dan melihat dunia sekeliling kaum priayi waktu itu yang kelihatan lebih banyak
menyia-nyiakan perempuan yang dinikahi dengan mudah. Lalu, Penghulu juru nikah
tidak menyelidiki lagi asal muasal pasangan yang akan dikawinkan.
Teristimewa kalau kalangan bangsawan Jawa yang akan menikah. Secara otomatis
Penghulu tinggal melaksanakan hajatan itu. Setelah itu, bagaimana nasib perempuan,
bukan lagi menjadi persoalan Penghulu . Oleh karena itu, Salim tidak dapat
menyalahkan Kartini, kalau Kartini menuliskan semuanya itu di dalam suratsuratnya.
Dan yang lebih penting lagi surat-surat itu bukanlah dimaksudkan Kartini
untuk konsumsi publik di masa tersebut, tetapi ditujukan kepada sahabat Belandanya
Nyonya Abendanon tempat Kartini mencurahkan segala luapan hatinya.
Tentu saja pembelaaan Salim terhadap Kartini bukan merupakan balas jasa terhadap
surat Kartini sebelumnya kepada Nyonya Abendanon, isteri Tuan Abendanon pejabat
tinggi Belanda bagian pendidikan. Jarak waktu anatara kedua pristiwa itu , surat
Kartini 1903 dan artikel yang dibicarakan 1925 tidak signifikan untuk dikaitkan
sebagai balas jasa. Di dalam suratnya tahun 1903 tadi , Kartini memuji Salim
sebagai pemuda cerdas yang tamat HBS dan ingin sekolah ke Belanda. Kartini dalam
suratnya itu bahkan meminta diusahakan bea-siswa untuk Salim dan kalau
memungkinkan besiswa untuk dirinya yang batal digunakannya dapat dihibah kepada
Salim.
Pemikiran Salim yang kedua yang dikedepankan dalam Cadar dan Harem adalah di
sekitar hubungan boleh tidaknya wanita tampil di tengah khalayak ramai dengan atau
tanpa pembatas atau tabir serta model pakaian wanita. Salim memaparkan pendapatnya
tentang tidak perlunya wanita diisolasi. Dalam kaitan ini Salim sebagai tokoh
pendorong berdirinya Perhimpunan Pemuda Islam (Jong Islamieten Bond/JIB) 1925
memberikan pokok-pokok pikiran dalam Kongres perhimpunan ini pada tahun 1927. Hal
itu dikedepankannya ketika kebiasaan memasang tabir antara pria dan wanita di
dalam pertemuan dan rapat-rapat JIB sudah menjadi kebiasaan. Salim meminta tabir
itu disingkirkan.
Menurut Salim, menutup wajah wanita dengan cadar serta kebiasaan mengisolasi
wanita dalam suatu tempat yang disebut Harem, tidaklah berdasarkan budaya Islam.
Kebiasaan itu hanyalah budaya dan tradisi suku bangsa Arab. Oleh karena itu
tidak pantas dicontoh oleh umat Islam yang bukan pendukung tradisi Arab. Apalagi
bagi JIB sebagai perhimpunan kaum terpelajar amatlah tidak pantas. Menurut Salim,
pengucilan kaum wanita pada rapat-rapat JIB di samping tidak ada dasarnya dalam
Islam adalah tidak menguntungkan untuk propaganda JIB itu sendiri.
Hal itu tidak pula wajar dan tidak sejalan dengan kebangkitan rasa kebangsaan
suatu aliran yang hendak meniru adat Arab, kata Salim. Apa yang dikemukakan itu
merupakan kesimpulan Salim terhadap beberapa nash atau teks firman Allah di dalam
al-Qur�an. Menurut Salim pemahaman terhadap Surat Al-Nur ayat 30 tidaklah membawa
suatu konsekuensi untuk membuat tabir antara pria dan wanita dalam satu majelis.
Ayat ini merupakan bimbingan Allah terhadap kaum pria bagaimana semestinya mereka
bertingkah laku terhadap lawan jenisnya.
Katakanlah kepada kaum pria Mukmin: Hendaknya mereka kendalikan pandangan mata dan
memelihara rasa malunya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka perbuat.
Melihat teks ayat itu, boleh jadi Salim menekankan bahwa para prialah sebagai
subyek yang bertanggungjawab penuh memelihara dan mengendalikan diri supaya wanita
jangan menjadi obyek pandangan. Wanita adalah subyek yang dalam batas tertentu
adalah bebas, termasuk dalam berpakaian sepanjang yang dibolehkan oleh ketentuan
syar�i. Di dalam hal ini Salim menunjuk kepada al-Qur�an yang mengatur pula etika
wanita sebagai subyek seperti firman Allah pada ayat berikutnya.
Katakanlah kepada wanita Mukminat: Hendaklah mereka kendalikan mata dan memelihara
rasa malunya dan janganlah mereka peragakan perhiasannya (kecantikan tubuhnya),
selain dari yang lazim tampak daripadanya. Dan hendaknya mengulurkan kerudung
kepala menutup dada, dan jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada
suami mereka, kepada ayah sendiri, kepada ayah suami mereka, atau putra-putra
mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka atau kepada
putra-putra saudara pria mereka, atau kepada putra-putra saudara wanita mereka ,
atau kepada kaum wanitanya, atau kepada budak-budakyang mereka miliki, atau kepada
pelayan-pelayan yang tidak menaruh hasrat akan wanita (pria uzur) atau anak-anak
yang belum mengerti aurat wanita. Dan janganlah mereka hentakkan (gerakkan)
tungkai kaki seakan-akan menonjolkan perhiasan yang tersembunyi. Dan bertaubatlah
kamu sekalian kepada Allah, hai orang beriman, agar dapat kamu berkembang dengan
sempurna.
Meskipun kedua wacana yang dikemukakan Salim di atas tadi tidak lagi
mencengangkan kaum muslimin dewasa ini, namun untuk persepsi masyarakat kala
itu, pemikiran Salim boleh dikatakan spetakuler. Apalagi kalau diingat bahwa JIB,
tempat Salim langsung melakukan transmisi intelektualitas Islamnya terhadap kaum
elit cendekiawan muslim, lahir karena pemuda Islam tidak mendapat kesempatan
belajar Islam di dalam organisasi Jong Java (Pemuda Jawa) organisasi asal
sebagian besar mereka sebelumnya.
Pada dekade-dekade awal abad ke-20 lalu, persoalan khilafiah tentang
ibadah praktis menjadi marak. Sementara soal perkawinan, soal sosok wanita masih
belum dipersoalkan dan dibiarkan begitu saja (taken for granted). Walaupun di
kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional sekuler, kedudukan wanita sudah
diperbincangkan, tetapi di kalangan tokoh Islam, mereka belum tertarik amat. Maka
bila Salim yang dianggap telah terformat sebagai seorang tokoh Muslim yang
prominent (amat cemerlang) mengisi wacana tentang wanita, maka persoalan menjadi
kian penting.
Di sisi lain, Inyiak Rasul atau Dr. H. Abdul Karim Amarullah (1879-
1945), tokoh pembaharu pemikiran Islam utama di Minangkabau, di dalam hal
penampilan wanita di depan umum, tidak berkenan dan berpandangan kontradiktif
dengan Salim. Maka tatkala di kalangan Muhammadiyah pada tahun 1927 mulai
menggerakkan wanita Aisyiah di dalam persyarikatan, ikut rapat-rapat, ikut
bepergian jauh menghadiri kongres di Yogyakarta, tampil menyampaikan tabligh dan
berpidato di depan umum, dengan serta merta telah dikecam oleh ayah Hamka ini.
Untuk menolak budaya baru menampilkan wanita meskipun untuk ceramah
agama di depan umum, Inyiak De Er menulis kitab Cermin Terus. Pada pokoknya isi
kitab ini mencela kebiasaan baru itu dengan berbabagai dalil dari al-qur�an dan
hadist menurut pemahaman pemikirannya (Hamka, 1982: 193). Pada hal Amarullah
adalah pembawa Muhammadiyah ke Minangkabau di tahun 1925. Dengan demikian berarti
isi kitab ini merupakan otokritik untuk kalangan Muhammadiyah kala itu.
Sementara adanya pembatasan wanita-pria dengan Tabir dalam satu
majelis yang juga untuk kepentingan agama dikecam habis-habisan oleh Salim.
Artinya dalam hal ini kedua tokoh pembaru Islam itu dalam hal yang satu ini boleh
jadi berbeda secara diametris bahkan kontradiktif. Sayang belum ditemukan
informasi tentang kemungkinan terjadinya komunikasi langsung pemikiran antara
Salim dan Amarullah.***
Kepustakaan
Engineer, Asghar Ali. Hak-hak Perempuan dalam Islam. Terjemahan Farid Wajdi dan
Cici Farkha Assegaf. Yogayakarta: Yayasan Bentang Budaya. 1994.
Grave, Elizabeth . The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in The
Nineteenth Century. New York : Cornell University. 1981.
Hamka. Ayahku. Jakarta: Uminda. 1982
Karim, Shofwan. �Perspektif Islam tentang Gender� . Makalah disampaikan pada
fasilitasi, advokasi dan sosialisasi Pengarusutamaan Gender (PUG)
tokoh agama, adat dan masyarakat se Sumatera Barat Kantor Gubernur.
Rabu,
11 Juni 2003.
---------. �Perspektif Islam tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender�.
Makalah. Disampaikan pada Advokasi dan Sosialisasi Kesetaraan
dan Keadilan Gender (KKG) bagi Para Pimpinan Pondok Pesantren se
Sumatera Barat, Sabtu, 14 Juni 2003 di Padang, Kerjasama PW Aisyiah dan
Pimpinan Pusat Aisyiyah di Diklat Depsos, Padang : Aisyiah. 2003
Mernissi, Fatima dan Riffat Hassan. Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-laki dan
Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriakhi. TerjemahanTeam LSPPA.
Yogyakarta: LSPPA-Yayasan Prakarsa, cet. I. 1995.
Muhsin, Aminah Wadud. Wanita di dalam Al-Qur�n. Terjemahan Yaziar Radianti.
Bandung: Pustaka, cet. I,. 1994.
Munawar-Rachman, Budhy . Islam Pluralis. Jakarta: Paramadina. 2001.
Panitia . Peringatan 100 Tahun H. Agus Salaim. Jakarta: Sinar Harapan. 1984.
Rahayu, Sri. Editor., Menimbang Perspektif Gender: Hakikat Konseptual dan
Implementasinya. Jakarta: Yayasan Ibu Harapan. 1996.
Salim , Agus. Filsafat tentang Takdir dan Tawakkal. Jakarta: Bulan Bintang. 1976
S, Eliana. �Islam dan Sekilas Potret Perempuan Minangkabau dalam Wacana
Gender�. Padang : Makalah . 2001.
mjbookmaker by:
http://jowo.jw.lt
SPONSOR
11745